Alkisah, di suatu negeri di kawasan Simalungun, Sumatera
Utara, berdiri sebuah kerajaan yang dipimpin oleh seorang raja yang arif dan
bijaksana. Sang Raja memiliki seorang putri yang kecantikannya sungguh luar
biasa.
Berita tentang kecantikan putri raja itu tersebar ke
berbagai pelosok negeri. Berita tersebut juga didengar oleh seorang raja muda
yang memerintah di sebuah kerajaan yang letaknya tidak jauh dari kerajaan ayah
sang Putri.
Mendengar kabar tersebut, Raja Muda yang tampan itu berniat
melamar sang putri. Sang raja kemudian mengumpulkan para penasehat kerajaan
untuk memusyawarahkan keinginannya tersebut.
“Wahai, para penasehatku! Apakah kalian sudah mendengar
berita kecantikan putri itu?” tanya sang raja kepada penasehatnya.
“Sudah, Tuan!” jawab para penasehat serantak.
“Bagaimana menurut kalian, jika sang putri itu aku jadikan
sebagai permaisuri?” sang Raja kembali bertanya.
“Hamba setuju, Tuan!” jawab salah seorang penasehat.
“Iya, Tuan! Hamba kira, Tuan dan Putri adalah pasangan yang
sangat serasi. Tuan seorang raja muda yang tampan, sedangkan sang putri seorang
gadis yang cantik jelita,” tambah seorang penasehat.
“Baiklah kalau begitu. Segera persiapkan segala keperluan
untuk meminang sang putri,” perintah sang raja.
“Baik, Baginda!” jawab seluruh penasehat serentak.
Keesokan harinya, tampak rombongan utusan raja muda meninggalkan istana menuju negeri tempat tinggal sang putri. Sesampainya di sana, mereka disambut dan dijamu dengan baik oleh ayah sang putri. Usai perjamuan, utusan sang raja muda pun menyampaikan maksud kedatangan mereka.
Keesokan harinya, tampak rombongan utusan raja muda meninggalkan istana menuju negeri tempat tinggal sang putri. Sesampainya di sana, mereka disambut dan dijamu dengan baik oleh ayah sang putri. Usai perjamuan, utusan sang raja muda pun menyampaikan maksud kedatangan mereka.
“Ampun, Baginda! Maksud kedatangan kami ke sini adalah
hendak menyampaikan pinangan Raja kami,” jawab salah seorang utusan yang
bertindak sebagai juru bicara.
“Kami menerima pinangan Raja kalian dengan senang hati, karena kedua kerajaan akan bersatu untuk mewujudkan masyarakat yang makmur, damai dan sejahtera,” jawab sang raja.
“Terima kasih, Baginda! Berita gembira ini segera kami sampaikan kepada Raja kami. Akan tetapi…, Raja kami berpesan bahwa jika lamaran ini diterima pernikahan akan dilangsungkan dua bulan lagi,” ujar utusan tersebut.
“Kami menerima pinangan Raja kalian dengan senang hati, karena kedua kerajaan akan bersatu untuk mewujudkan masyarakat yang makmur, damai dan sejahtera,” jawab sang raja.
“Terima kasih, Baginda! Berita gembira ini segera kami sampaikan kepada Raja kami. Akan tetapi…, Raja kami berpesan bahwa jika lamaran ini diterima pernikahan akan dilangsungkan dua bulan lagi,” ujar utusan tersebut.
“Kenapa begitu lama?” tanya sang Raja tidak sabar.
“Raja kami ingin pernikahannya dilangsungkan secara
besar-besaran,” jawab utusan itu.
“Baiklah kalau begitu, kami siap menunggu,” jawab sang Raja.
Usai berunding, utusan Raja Muda berpamitan kepada sang Raja untuk kembali ke negeri mereka. Setibanya di sana, mereka langsung melaporkan berita gembira itu kepada Raja mereka, bahwa pinangannya diterima. Sang Raja Muda sangat gembira mendengar berita itu.
“Baiklah kalau begitu, kami siap menunggu,” jawab sang Raja.
Usai berunding, utusan Raja Muda berpamitan kepada sang Raja untuk kembali ke negeri mereka. Setibanya di sana, mereka langsung melaporkan berita gembira itu kepada Raja mereka, bahwa pinangannya diterima. Sang Raja Muda sangat gembira mendengar berita itu.
“Kalau begitu, mulai saat ini kita harus menyiapkan segala
keperluan untuk upacara pernikahan ini!” seru Raja Muda.
“Baiklah, Tuan! Segera kami kerjakan,” jawab seorang utusan.
Sementara itu, setelah para utusan Raja Muda kembali ke negeri mereka, ayah sang Putri menemui putrinya dan menyampaikan berita pinangan itu.
Sementara itu, setelah para utusan Raja Muda kembali ke negeri mereka, ayah sang Putri menemui putrinya dan menyampaikan berita pinangan itu.
“Wahai, putriku! Tahukah engkau maksud kedatangan para
utusan itu?” tanya sang Raja kepada putrinya.
“Tidak, ayah! Memangnya ada apa, yah?” sang putri balik
bertanya.
“Ketahuilah, putriku! Kedatangan mereka kemari untuk
menyampaikan pinangan raja mereka yang masih muda. Bagaimana menurutmu?” tanya
sang Ayah.
“Jika ayah senang, putri bersedia,” jawab sang Putri
malu-malu.
“Ayah sangat bangga memiliki putri yang cantik dan penurut
sepertimu, wahai putriku!” sanjung sang Ayah.
“Putriku, jagalah dirimu baik-baik! Jangan sampai terjadi
sesuatu yang dapat membatalkan pernikahanmu,” tambah sang ayah.
“Baik, ayah!” jawab sang putri.
Menjelang hari pernikahannya, sebagaimana biasa, setiap pagi
sang putri pergi mandi dengan ditemani beberapa orang dayangnya di sebuah kolam
yang berada di belakang istana. Di pinggir kolam disiapkan sebuah batu besar
untuk tempat duduk sang putri. Usai berganti pakaian, sang putri segera masuk
ke dalam kolam berendam sejenak untuk menyejukkan sekujur tubuhnya.
Setelah beberapa saat berendam, sang putri duduk di atas
batu di tepi kolam. Sambil menjuntaikan kakinya ke dalam air, sang putri
membayangkan betapa bahagianya saat pernikahan nanti, duduk bersanding di
pelaminan bersama sang suami, seorang Raja Muda yang gagah dan tampan.
Di tengah-tengah sang putri asyik mengkhayal dan menikmati
kesejukan air kolam itu, tiba-tiba angin bertiup kencang. Tanpa diduga, sebuah
ranting pohon yang sudah kering mendadak jatuh tepat mengenahi ujung hidung
sang putri.
“Aduuuh, hidungku!” jerit sang putri sambil memegang
hidungnya.
Dalam sekejap, tangan putri yang malang itu penuh dengan darah. Sambil menahan rasa sakit, sang putri menyuruh dayang-dayangnya untuk diambilkan cermin. Betapa terkejut dan kecewanya sang putri saat melihat wajahnya di cermin. Hidungnya yang semula mancung itu tiba-tiba menjadi sompel (hilang sebagian) tertimpa ranting pohon yang ujungnya tajam. Kini wajah sang putri tidak cantik lagi seperti semula. Ia sangat sedih dan air matanya pun bercucuran keluar dari kelopak matanya.
Dalam sekejap, tangan putri yang malang itu penuh dengan darah. Sambil menahan rasa sakit, sang putri menyuruh dayang-dayangnya untuk diambilkan cermin. Betapa terkejut dan kecewanya sang putri saat melihat wajahnya di cermin. Hidungnya yang semula mancung itu tiba-tiba menjadi sompel (hilang sebagian) tertimpa ranting pohon yang ujungnya tajam. Kini wajah sang putri tidak cantik lagi seperti semula. Ia sangat sedih dan air matanya pun bercucuran keluar dari kelopak matanya.
“Celaka! Pernikahanku dengan raja muda akan gagal. Ia pasti
akan mencari putri lain yang tidak memiliki cacat. Jika aku gagal menikah
dengan raja muda, ayah dan ibu pasti kecewa dan malu di hadapan rakyatnya,”
pikir sang putri.
Sang putri sangat tertekan. Pikiran-pikiran itu terus
berkecamuk di kepalanya. Hatinya pun semakin bingung. Ia tidak ingin membuat
malu dan kecewa kedua orang tuanya. Namun, ia tidak mampu mengatasi
permasalahan yang sedang dihadapinya. Ia tidak dapat berbuat apa-apa lagi,
selain menyesali nasibnya yang malang itu.
Sang putri pun jadi putus asa. Sambil menangis, ia
menengadahkan kedua tangannya ke atas, lalu berdoa:
“Ya, Tuhan! Hukumlah hambamu ini yang telah membuat malu dan
kecewa orang tuanya!” doa sang putri dengan mata berkaca-kaca.
Baru saja doa itu terucap dari mulut sang putri, tiba-tiba
petir menyambar-nyambar sebagai tanda doa sang putri didengar oleh Tuhan.
Beberapa saat kemudian, tubuh sang putri mengalami perubahan yang sangat
mengejutkan. Kakinya yang putih mulus tiba-tiba mengeluarkan sisik. Sisik
tersebut semakin merambat ke atas. Dayang-dayangnya pun tersentak kaget saat
melihat peristiwa itu. Ketika sisik itu mencapai dada, sang putri segera memerintahkan
seorang dayang-dayangnya untuk memberi tahu ayah dan ibunya di dalam istana.
“Ampun, Tuan!” hormat sang dayang kepada raja.
“Ada apa, dayang-dayang?” tanya sang raja.
“Ampun, Tuan! Kulit tuan putri mengeluarkan sisik seperti
ular,” lapor sang dayang.
“Apa…? Anakku mengeluarkan sisik!” tanya sang raja tersentak
kaget.
“Benar, Tuan! Hamba sendiri tidak tahu kenapa hal itu bisa
terjadi,” jawab sang dayang.
Setelah mendengar laporan itu, sang raja dan permaisuri
segera menuju ke kolam permandian. Sesampainya di tempat itu, mereka sudah
tidak melihat tubuh sang putri. Yang tampak hanya seekor ular besar yang
bergelung di atas batu yang biasa dipakai sang putri untuk duduk.
“Putriku!” seru sang raja kepada ular itu.
Ular itu hanya bisa menggerakan kepala dan menjulurkan
lidahnya dengan tatapan mata yang sayu. Ia seakan hendak berbicara, namun tak
satu kata pun yang terucap dari mulutnya.
“Putriku! Apa yang terjadi denganmu?” tanya permaisuri
cemas.
Meskipun permaisuri sudah berteriak memanggilnya, namun ular itu tetap saja tidak bisa berkata apa-apa. Tak lama kemudian, ular besar penjelmaan sang putri pergi meninggalkan mereka dan masuk ke dalam semak belukar. Sang raja dan permaisuri beserta dayang-dayang tidak bisa berbuat apa-apa. Mereka sangat sedih dan menangis atas nasib malang yang menimpa sang putri.
Meskipun permaisuri sudah berteriak memanggilnya, namun ular itu tetap saja tidak bisa berkata apa-apa. Tak lama kemudian, ular besar penjelmaan sang putri pergi meninggalkan mereka dan masuk ke dalam semak belukar. Sang raja dan permaisuri beserta dayang-dayang tidak bisa berbuat apa-apa. Mereka sangat sedih dan menangis atas nasib malang yang menimpa sang putri.
Peristiwa penjelmaan sang putri menjadi seekor ular adalah
hukuman dari Yang Kuasa atas permintaannya sendiri, karena keputusasaannya. Ia
putus asa karena telah membuat malu dan kecewa kedua orang tuanya. Ia tidak
berhasil menjaga amanah ayahnya untuk selalu jaga diri agar tidak terjadi
sesuatu yang dapat membatalkan pernikahannya dengan Raja Muda yang tampan itu.